Klick Aja Deh

Selasa, 20 Januari 2009


Gusti Allah Tidak "Ndeso"
Beragama yang Tidak Korupsi


Oleh: Emha Ainun Nadjib


Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun. "Cak Nun,"
kata sang penanya, "misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan
menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke
masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantartukang
becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang
sampeyan pilih?"

Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan."

"Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" kejar si penanya.

"Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun.

"Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak
ngajak-ngajak, " katanya lagi. "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan
ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point
pribadi.

Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong,
Tuhan tidak berada di mesjid,
melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan
mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau
engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau
menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau
memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang mana
dari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca
al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.

Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran,
menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan
mengobarkan semangat permusuhan. Ketiga, orang yang tidak shalat,
tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh
kasih sayang?"

Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi
uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi
menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak
sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal,
tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya
sembahyang dan membaca al-quran.

Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya.
Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia
hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah
output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih,
kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama. Idealnya,
orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi
juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih
sayang.

Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua
agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih
sesama. Bila kita cuma puasa, shalat,
baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya,
kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat
bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin,
memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang
beragama.

Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan
personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan
kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang
yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang
menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya
solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum
tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya.
Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial
tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid,
sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta
kelaparan.

Ekstrinsik VS Intrinsik

Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW
mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa
di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya. Nabi
Muhammad SAW menjawab singkat, "Ia di neraka." Hadis ini
memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup.
Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial.

Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada
lingkungan sosial.

Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai
tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain. Hal
ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari Gordon W Allport.
Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan
intrinsik.

Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat
dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh
status darinya. Ia puasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab suci,
bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain
menghargai dirinya. Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran
agama tidak menghujam ke dalam dirinya.

Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan
nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam
jauh ke dalam jiwa penganutnya. Adanya internalisasi nilai spiritual
keagamaan. Ibadah ritual bukan hanya praktik tanpa makna. Semua
ibadah itu memiliki pengaruh dalam sikapnya sehari-hari. Baginya,
agama adalah penghayatan batin kepada Tuhan. Cara beragama yang
intrinsiklah yang mampu menciptakan lingkungan yang bersih dan penuh
kasih sayang.

Keberagamaan ekstrinsik, cara beragama yang tidak tulus, melahirkan
egoisme. Egoisme bertanggungjawab atas kegagalan manusia mencari
kebahagiaan, kata Leo Tolstoy. Kebahagiaan tidak terletak pada
kesenangan diri sendiri. Kebahagiaan terletak pada kebersamaan.
Sebaliknya, cara beragama yang intrinsik menciptakan kebersamaan.
Karena itu, menciptakan kebahagiaan dalam diri penganutnya dan
lingkungan sosialnya. Ada penghayatan terhadap pelaksanaan ritual-
ritual agama.

Cara beragama yang ekstrinsik menjadikan agama sebagai alat politis
dan ekonomis. Sebuah sikap beragama yang memunculkan sikap hipokrit;
kemunafikan. Syaikh Al Ghazali dan Sayid Quthb pernah berkata, kita
ribut tentang bid'ah dalam shalat dan haji, tetapi dengan tenang
melakukan bid'ah dalam urusan ekonomi dan politik. Kita puasa tetapi
dengan tenang melakukan korupsi. Juga kekerasan, pencurian, dan
penindasan.

Indonesia, sebuah negeri yang katanya agamis, merupakan negara penuh
pertikaian. Majalah Newsweek edisi 9 Juli 2001 mencatat, Indonesia
dengan 17.000 pulau ini menyimpan 1.000 titik api yang sewaktu-waktu
siap menyala. Bila tidak dikelola, dengan mudah beralih menjadi
bentuk kekerasan yang memakan korban. Peringatan Newsweek lima tahun
lalu itu, rupanya mulai memperlihatkan kebenaran. Poso, Maluku, Papua
Barat, Aceh menjadi contohnya. Ironis.

Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Alternatif , menulis betapa banyak
umat Islam disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah (ritual), tetapi
mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan,
dan kesulitan hidup yang diderita saudara-saudara mereka. Betapa
banyak orang kaya Islam yang dengan khusuk meratakan dahinya di atas
sajadah, sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit
dan kekurangan gizi.

Kita kerap melihat jutaan uang dihabiskan untuk upacara-upacara
keagamaan, di saat ribuan anak di sudut-sudut negeri ini tidak dapat
melanjutkan sekolah. Jutaan uang dihamburkan untuk membangun rumah
ibadah yang megah, di saat ribuan orang tua masih harus menanggung
beban mencari sesuap nasi. Jutaan uang dipakai untuk naik haji
berulang kali, di saat ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut
karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Secara ekstrinsik
mereka beragama, tetapi secara intrinsik tidak beragama.

Sumber: Jalal Center

Tidak ada komentar:

Posting Komentar